Minggu, 16 Mei 2010

EMANSIPASI WANITA

Oleh: Harbayanti Abdi, S.Sos.I., M.Pd.I.*)

“Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita”. Petikan arti salah satu ayat al Qur’an ini, baik oleh pihak yang mengusung isu kesetaraan gender maupun yang menentangnya, sering ditafsirkan sebagai justifikasi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bagi yang mengusungnya, hal ini merupakan bentuk ketidakadilan gender yang akan membatasi kiprah kaum wanita di tengah-tengah masyarakat. Bagi yang menentang beranggapan bahwa hal ini pada hakikatnya memiliki tujuan demi menjaga dan melindungi kemualiaan wanita itu sendiri.
Dalam ayat lain yang sangat lugas, al Qur’an sendiri mengatakan bahwa kemuliaan manusia di sisi tuhannya hanya dinilai dari satu parameter, yaitu ketaqwaan. Dari sini terlihat jelas bahwa sesungguhnya status ‘pemimpin’ dan ‘yang dipimpin’ dalam al Qur’an bukanlah mencerminkan ketidaksetaraan. Yang ‘memimpin’ belum tentu lebih mulia dari ‘yang dipimpin’. Oleh karena itu, hubungan keduanya lebih bersifat fungsional, atau hanya pembagian peran.
Manusialah sesungguhnya yang berkeyakinan bahwa ‘pemimpin’ lebih mulia dari yang ‘dipimpin’. Kita bisa melihat bagaimana ambisi kekuasaan yang terjadi di sepanjang sejarah kemanusiaan. Begitu pula dengan kaum wanita ( yang juga didukung oleh sebagian kaum laki-laki) yang pro kesetaraan gender, mereka seolah tidak rela dengan justifikasi wahyu bahwa kaum laki-laki adalah ‘pemimpin’ bagi kaum wanita. Karena anggapan bahwa yang ‘memimpin’ lebih mulia dari ‘yang dipimpin’. Seolah-olah keduanya tidak setara, sehingga apapun konsekuensinya, mereka tetap perjuangkan kesetaraan itu. Padahal sekali lagi, ‘pemimpin’ dan ‘yang dipimpin’ adalah pembagian peran semata. Dua-duanya akan dimintai pertanggungjawaban, karena pada hakikatnya tiap individu adalah pemimpin. Allah juga telah menjelaskan dalam (QS.33:35), misalnya, bahwa prinsip moral Islam diberikan baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan.
Momentum hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, seolah mengingatkan kita umat Islam ke zaman sebelum Islam datang. Bahkan dalam beberapa kebudayaan Islam saat ini yang dipengaruhi oleh tradisi non-Islam, kehadiran anak-anak perempuan tidak begitu diharapkan sepeti anak laki-laki. Sebagaimana firman Allah (QS.16:58) yang artinya “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan butuknya berita yang disampaikan padanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.
Beruntunglah pasangan suami istri yang hidup di Indonesia zaman sekarang, kelahiran anak laki-laki dan perempuan sama-sama disambut dengan hangat oleh keluarga. Kita harus bersyukur karena derajat kaum wanita terangkat setelah Islam datang. Kita juga bersyukur, dengan kehadiran kaum wanita, terlahir anak cucu umat Rasulullah Saw. Bayangkan jika ajaran Islam tidak hadir saat itu, tentunya anak cucu Adam tidak akan lestari sampai saat ini, karena kaum wanitanya tidak dilestarikan. Padahal tidak ada perbedaan antara umat Islam laki-laki dan umat Islam bukan laki-laki di sisi Allah, yang membedakan hanyalah Ketaqwaannya.
Dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama. Di zaman sebelum kemerdekaan Indonesia, masa jahiliyah pra-Islam terulang lagi. Ketika kaum wanita Indonesia harus menerima terkurung di dalam rumah dengan segala urusan ‘dapur, sumur’ dan kasur’ tanpa boleh mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari kaum laki-laki. Perjuangan seorang Kartini dalam membela hak-hak kaum wanita Indonesia harus mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya bagi seluruh warga Negara Indonesia. Kalau tidak ada Raden Ajeng Kartini, mungkin sampai sekarang tidak ada murid perempuan di setiap sekolah. Bahkan mungkin pembangunan negara juga terhambat karena sumber daya manusianya tidak terdidik oleh pendidik utama mereka di keluarga, yaitu ibu, seorang wanita. Oleh karena itu, peran wanita baik sebagai ibu rumah tangga dengan pekerjaan domestiknya maupun sebagai pekerja publik harus dihargai oleh setiap laki-laki apalagi suaminya.
Hal yang tidak baik misalnya, ketika ada seorang laki-laki merasa keberatan dan mempermasalahkan kepulangannya lebih awal ke rumah, sementara ia mengharap untuk mendapatkan tambahan penghasilan istri sebagai bagian dari kebutuhan total rumah tangga. Jelas, jika istri yang pulang ke rumah lebih dulu, maka dialah yang akan disambut oleh rumah kosong dan gelap. Sampai pada batas tertentu, ini tidak dapat dikatakan wajar, sebab wanita semakin banyak menjadi kaum pekerja yang bergabung dengan kaum laki-laki dalam masyarakat.
Sikap yang Islami adalah selalu berupaya mencari cara yang terbaik, dan tidak memaksakan suatu sikap atau perilaku yang tidak akan disukai oleh laki-laki atau perempuan. Atau membuat salah satu pasangan menderita secara tidak wajar. Ini dapat diartikan bahwa kadang-kadang suami harus menerima yang kurang pas menjadi pas. Atau, bisa juga berarti istri merasa lebih baik bagi perkawinannya jika dia tidak bekerja sehari penuh, apalagi jika itu terlalu menegangkan perkawinan mereka. Segala sesuatunya harus dipertimbangkan secara adil dan terbuka.
Tentu saja tidak adil untuk mengharapkan seorang istri yang sangat berpendidikan untuk selalu berada di rumah dan menyia-nyiakan kepandaiannya dengan membatasi dirinya di seputar tugas-tugas rumah tangga. Memang benar di beberapa Negara Islam terdapat banyak pengangguran. Banyaknya wanita yang bekerja akan memperburuk keadaan dan menjadikan banyak keluarga Islam tidak memiliki seorang pencari nafkah sedangkan keluarga lain mempiliki dua orang pencari nafkah (suami-istri). Namun, adalah hal yang benar juga bahwa Negara-negara Islam menuntut adanya dokter-dokter wanita, perawat, guru, dan lainnya. Para wanita ini harus banyak berkorban untuk menjadikan diri mereka terlatih, dan diharapkan dapat mengabdikan diri kepada masyarakat seperti yang dilakukan oleh laki-laki terlatih. Laki-laki muslim seharusnya tidak bersikap egois dan membiarkan kebutuhan masyarakat akan wanita yang pandai dan berdedikasi ini tak terpenuhi. Tidak adil mengharapkan mereka membatasi diri dan mengabdi pada satu orang saja. Banyak laki-laki yang menyia-nyiakan kepandaian istrinya, dan mengekang perkembangan mereka.
Pada sisi lain, ada juga wanita-wanita yang tidak dapat bertahan untuk selalu mengurus anak-anak dan berkutat dengan tugas-tugas rumah tangga. Mereka ingin bekerja karena ingin melakukan sesuatu yang lain, bertemu orang lain dan berbincang, dan akhirnya mendapatkan penghasilan. Laki-laki muslim seharusnya menyadari bahwa ia adalah orang yang beruntung jika istrinya cukup bahagia dengan mengabdikan seluruh waktu dan perhatiannya untuk suami, anak-anak, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Dia harus mengingat nasib baiknya ini dan tak pernah lupa untuk menghargai betapa besar karunia yang telah ia terima. Dalam banyak masyarakat Islam, wanita yang sudah menikah memang dianggap sudah seharusnya menghabiskan hari-harinya dengan cara ini.
Hal itu tidak sepenuhnya Islami, karena Allah tidak akan mengaruniai wanita kemampuan untuk dapat bekerja secara professional jika memang Alah mengarahkan mereka untuk mempunyai tugas yang berbeda dari laki-laki. Istri pertama Rasulullah Saw., Khodijah, pada mulanya adalah atasan beliau, sedangkan istri sepupunya, Zainab, tetap bekerja setelah menikah. Ia membuat dan menjual pelana yang bermutu tinggi, dan Rasulullah Saw. sangat puas dengan hasil buatannya. Ketika Islam lahir empat belas abad lalu, kaum wanita disekitar Rasulullah Saw. ikut berpartisipasi dalam masyarakat, ikut menyuarakan pendapatnya tentang persamaan hak dalam masyarakat. Hal ini berlanjut terus sampai masa kejayaan Islam, ketika kaum wanita memegang peranan yang jauh lebih penting daripada yang terjadi kini. Ada sekolah-sekolah tinggi seperti Saclatunia Academi di Kairo yang menyiapkan pendidikan yang lebih tinggi bagi wanita dan dipimpin oleh professor-profesor wanita.
Semua ini mengingatkan kita bahwa kepasrahan yang sesungguhnya kepada Allah dalam Islam adalah berarti setiap individu harus berupaya sedapat mungkin untuk memanfaatkan segala kepandaian dan kemampuan demi meningkatnya kebaikan dalam masyarakat. Kalau dia adalah seorang muslimah, ada tanggung jawab yang lebih besar agar keluarga dan rumah tangganya tidak sampai terbengkalai sehingga kesalahan akan jatuh di pihaknya. Setiap muslimah yang mementingkan rumah tangganya akan mengusahakan cara terbaik untuk memenuhi segala kewajibannya. Dan setiap laki-laki muslim, dengan memahami hal ini, haruslah bersikap mendukung dan bersimpati, serta mau memberikan perhatian dan bantuan jika diperlukan.
Sunnah Rasul tentang masalah ini disampaikan oleh istri beliau, Aisyah r.a. sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori menyatakan ketika Aisyah ditanya apa yang dilakukan Rasulullah di rumah, ia menjawab bahwa beliau membantu menyelesaikan tugas istri-istri beliau sampai tiba waktunya untuk pergi mengimami shalat di masjid. Sebagai laki-laki yang sempurna, beliau tidak menganggap membantu istri sebagai sesuatu yang menyinggung harga dirinya sebagai laki-laki.
Jika istri menggunakan semua waktunya untuk merawat rumah, maka suami harus menunjukkan penghargaannya terhadap pengorbanan ini dan memberikan waktu yang cukup bagi istri sebagai imbalan dari jerih payahnya. Ia harus memperhatikan apa yang telah dilakukan oleh istrinya dan memberikan perhatiannya. Suami muslim yang baik tidak akan meninggalkan rumah dan berkeliaran untuk kepentingan diri semata, atau sekedar mampir ke rumah teman-teman laki-lakinya menghabiskan waktu berjam-jam bersama mereka sementara istrinya ditinggalkan sendiri di rumah pada malam hari ketika ia mengharapkan suaminya mengahbiskan waktu bersamanya.
Suatu pandangan keliru yang umum dalam masyarakat bahwa hanya pekerjalah ‘yang bekerja’, dan orang-orang yang berada di rumah berarti tidak bekerja. Muslim yang sejati tidak boleh melupakan bahwa uang yang mereka bawa ke rumah sebagai nafkah untuk keluarganya diperoleh atas usaha bersama. Kalau para suami berpikir bahwa merekalah satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga, maka mereka harus segera berpikir dan mengingat apa jadinya kalau mereka kehilangan istri-istri mereka dari rumah. Mereka terpaksa menggaji seorang juru masak, petugas kebersihan rumah, perawat anak, pendidik anak, pencuci baju, pengatur rumah tangga, dan lain-lain. Biasanya seorang istri dapa menghemat hampir semua pengeluaran tersebut dengan menanganinya sendiri. Sungguh merupakan sumbangan yang sangat besar!!!
Jika laki-laki tidak siap atau tidak mampu mengerjakan bagian tugasnya, maka ada hal-hal yang harus dilakukannya jika istrinya bekerja di luar: ia harus menggaji pembantu rumah tangga, tukang cuci, tukang masak, dan perawat anak. Dengan pengaturan yang baik, hal itu dapat dilakukan. Istri muslim yang membiarkan rumahnya berantakan ketika ia sibuk bekerja di luar rumah, berarti berbuat kesalahan; namun tanggung jawab untuk melihat bahwa segala sesuatunya berjalan lancar ada pada suami dan istri.
Perbedaan merupakan rahmat. Ada laki-laki harus ada perempuan. Ada pemimpin, harus ada yang dipimpin. Ada hak dan kewajiban laki-laki ada juga hak dan kewajiban perempuan. Tidak perlu egois menjadi laki-laki dan tidak perlu sombong menjadi perempuan. Semuanya sama-sama makhluk Allah. Secara fisik biologis memang pasti berbeda, namun peran dan status sosialnya bisa saja sama. Yang perlu diingat adalah hak dan kewajiban yang diperoleh dan dilaksanakan baik oleh laki-laki maupun perempuan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT di akhirat kelak. Berbahagialah menjadi laki-laki mu’min dengan segala kelebihan dan kekurangannya dan bersyukurlah menjadi wanita mu’minah dengan segala kebikan dan keburukannya. Sehingga kekurangan dan keburukan yang ada dapat menjadi energi penambah semangat untuk terus memperbaiki diri. Mari kita dukung ibu-ibu kita, istri-istri kita, anak cucu perempuan kita, untuk menjadi Kartini-Kartini masa kini dengan tidak meninggalkan kodratnya sebagai wanita Islam sejati.
THE END

*) Penyuluh Agama Islam Kantor Kementrian Agama Kabupaten Cirebon, bertugas di Kecamatan Talun
Juga Dosen Luar Biasa di IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar