Minggu, 16 Mei 2010

EMANSIPASI WANITA

Oleh: Harbayanti Abdi, S.Sos.I., M.Pd.I.*)

“Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita”. Petikan arti salah satu ayat al Qur’an ini, baik oleh pihak yang mengusung isu kesetaraan gender maupun yang menentangnya, sering ditafsirkan sebagai justifikasi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bagi yang mengusungnya, hal ini merupakan bentuk ketidakadilan gender yang akan membatasi kiprah kaum wanita di tengah-tengah masyarakat. Bagi yang menentang beranggapan bahwa hal ini pada hakikatnya memiliki tujuan demi menjaga dan melindungi kemualiaan wanita itu sendiri.
Dalam ayat lain yang sangat lugas, al Qur’an sendiri mengatakan bahwa kemuliaan manusia di sisi tuhannya hanya dinilai dari satu parameter, yaitu ketaqwaan. Dari sini terlihat jelas bahwa sesungguhnya status ‘pemimpin’ dan ‘yang dipimpin’ dalam al Qur’an bukanlah mencerminkan ketidaksetaraan. Yang ‘memimpin’ belum tentu lebih mulia dari ‘yang dipimpin’. Oleh karena itu, hubungan keduanya lebih bersifat fungsional, atau hanya pembagian peran.
Manusialah sesungguhnya yang berkeyakinan bahwa ‘pemimpin’ lebih mulia dari yang ‘dipimpin’. Kita bisa melihat bagaimana ambisi kekuasaan yang terjadi di sepanjang sejarah kemanusiaan. Begitu pula dengan kaum wanita ( yang juga didukung oleh sebagian kaum laki-laki) yang pro kesetaraan gender, mereka seolah tidak rela dengan justifikasi wahyu bahwa kaum laki-laki adalah ‘pemimpin’ bagi kaum wanita. Karena anggapan bahwa yang ‘memimpin’ lebih mulia dari ‘yang dipimpin’. Seolah-olah keduanya tidak setara, sehingga apapun konsekuensinya, mereka tetap perjuangkan kesetaraan itu. Padahal sekali lagi, ‘pemimpin’ dan ‘yang dipimpin’ adalah pembagian peran semata. Dua-duanya akan dimintai pertanggungjawaban, karena pada hakikatnya tiap individu adalah pemimpin. Allah juga telah menjelaskan dalam (QS.33:35), misalnya, bahwa prinsip moral Islam diberikan baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan.
Momentum hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, seolah mengingatkan kita umat Islam ke zaman sebelum Islam datang. Bahkan dalam beberapa kebudayaan Islam saat ini yang dipengaruhi oleh tradisi non-Islam, kehadiran anak-anak perempuan tidak begitu diharapkan sepeti anak laki-laki. Sebagaimana firman Allah (QS.16:58) yang artinya “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan butuknya berita yang disampaikan padanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.
Beruntunglah pasangan suami istri yang hidup di Indonesia zaman sekarang, kelahiran anak laki-laki dan perempuan sama-sama disambut dengan hangat oleh keluarga. Kita harus bersyukur karena derajat kaum wanita terangkat setelah Islam datang. Kita juga bersyukur, dengan kehadiran kaum wanita, terlahir anak cucu umat Rasulullah Saw. Bayangkan jika ajaran Islam tidak hadir saat itu, tentunya anak cucu Adam tidak akan lestari sampai saat ini, karena kaum wanitanya tidak dilestarikan. Padahal tidak ada perbedaan antara umat Islam laki-laki dan umat Islam bukan laki-laki di sisi Allah, yang membedakan hanyalah Ketaqwaannya.
Dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama. Di zaman sebelum kemerdekaan Indonesia, masa jahiliyah pra-Islam terulang lagi. Ketika kaum wanita Indonesia harus menerima terkurung di dalam rumah dengan segala urusan ‘dapur, sumur’ dan kasur’ tanpa boleh mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari kaum laki-laki. Perjuangan seorang Kartini dalam membela hak-hak kaum wanita Indonesia harus mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya bagi seluruh warga Negara Indonesia. Kalau tidak ada Raden Ajeng Kartini, mungkin sampai sekarang tidak ada murid perempuan di setiap sekolah. Bahkan mungkin pembangunan negara juga terhambat karena sumber daya manusianya tidak terdidik oleh pendidik utama mereka di keluarga, yaitu ibu, seorang wanita. Oleh karena itu, peran wanita baik sebagai ibu rumah tangga dengan pekerjaan domestiknya maupun sebagai pekerja publik harus dihargai oleh setiap laki-laki apalagi suaminya.
Hal yang tidak baik misalnya, ketika ada seorang laki-laki merasa keberatan dan mempermasalahkan kepulangannya lebih awal ke rumah, sementara ia mengharap untuk mendapatkan tambahan penghasilan istri sebagai bagian dari kebutuhan total rumah tangga. Jelas, jika istri yang pulang ke rumah lebih dulu, maka dialah yang akan disambut oleh rumah kosong dan gelap. Sampai pada batas tertentu, ini tidak dapat dikatakan wajar, sebab wanita semakin banyak menjadi kaum pekerja yang bergabung dengan kaum laki-laki dalam masyarakat.
Sikap yang Islami adalah selalu berupaya mencari cara yang terbaik, dan tidak memaksakan suatu sikap atau perilaku yang tidak akan disukai oleh laki-laki atau perempuan. Atau membuat salah satu pasangan menderita secara tidak wajar. Ini dapat diartikan bahwa kadang-kadang suami harus menerima yang kurang pas menjadi pas. Atau, bisa juga berarti istri merasa lebih baik bagi perkawinannya jika dia tidak bekerja sehari penuh, apalagi jika itu terlalu menegangkan perkawinan mereka. Segala sesuatunya harus dipertimbangkan secara adil dan terbuka.
Tentu saja tidak adil untuk mengharapkan seorang istri yang sangat berpendidikan untuk selalu berada di rumah dan menyia-nyiakan kepandaiannya dengan membatasi dirinya di seputar tugas-tugas rumah tangga. Memang benar di beberapa Negara Islam terdapat banyak pengangguran. Banyaknya wanita yang bekerja akan memperburuk keadaan dan menjadikan banyak keluarga Islam tidak memiliki seorang pencari nafkah sedangkan keluarga lain mempiliki dua orang pencari nafkah (suami-istri). Namun, adalah hal yang benar juga bahwa Negara-negara Islam menuntut adanya dokter-dokter wanita, perawat, guru, dan lainnya. Para wanita ini harus banyak berkorban untuk menjadikan diri mereka terlatih, dan diharapkan dapat mengabdikan diri kepada masyarakat seperti yang dilakukan oleh laki-laki terlatih. Laki-laki muslim seharusnya tidak bersikap egois dan membiarkan kebutuhan masyarakat akan wanita yang pandai dan berdedikasi ini tak terpenuhi. Tidak adil mengharapkan mereka membatasi diri dan mengabdi pada satu orang saja. Banyak laki-laki yang menyia-nyiakan kepandaian istrinya, dan mengekang perkembangan mereka.
Pada sisi lain, ada juga wanita-wanita yang tidak dapat bertahan untuk selalu mengurus anak-anak dan berkutat dengan tugas-tugas rumah tangga. Mereka ingin bekerja karena ingin melakukan sesuatu yang lain, bertemu orang lain dan berbincang, dan akhirnya mendapatkan penghasilan. Laki-laki muslim seharusnya menyadari bahwa ia adalah orang yang beruntung jika istrinya cukup bahagia dengan mengabdikan seluruh waktu dan perhatiannya untuk suami, anak-anak, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Dia harus mengingat nasib baiknya ini dan tak pernah lupa untuk menghargai betapa besar karunia yang telah ia terima. Dalam banyak masyarakat Islam, wanita yang sudah menikah memang dianggap sudah seharusnya menghabiskan hari-harinya dengan cara ini.
Hal itu tidak sepenuhnya Islami, karena Allah tidak akan mengaruniai wanita kemampuan untuk dapat bekerja secara professional jika memang Alah mengarahkan mereka untuk mempunyai tugas yang berbeda dari laki-laki. Istri pertama Rasulullah Saw., Khodijah, pada mulanya adalah atasan beliau, sedangkan istri sepupunya, Zainab, tetap bekerja setelah menikah. Ia membuat dan menjual pelana yang bermutu tinggi, dan Rasulullah Saw. sangat puas dengan hasil buatannya. Ketika Islam lahir empat belas abad lalu, kaum wanita disekitar Rasulullah Saw. ikut berpartisipasi dalam masyarakat, ikut menyuarakan pendapatnya tentang persamaan hak dalam masyarakat. Hal ini berlanjut terus sampai masa kejayaan Islam, ketika kaum wanita memegang peranan yang jauh lebih penting daripada yang terjadi kini. Ada sekolah-sekolah tinggi seperti Saclatunia Academi di Kairo yang menyiapkan pendidikan yang lebih tinggi bagi wanita dan dipimpin oleh professor-profesor wanita.
Semua ini mengingatkan kita bahwa kepasrahan yang sesungguhnya kepada Allah dalam Islam adalah berarti setiap individu harus berupaya sedapat mungkin untuk memanfaatkan segala kepandaian dan kemampuan demi meningkatnya kebaikan dalam masyarakat. Kalau dia adalah seorang muslimah, ada tanggung jawab yang lebih besar agar keluarga dan rumah tangganya tidak sampai terbengkalai sehingga kesalahan akan jatuh di pihaknya. Setiap muslimah yang mementingkan rumah tangganya akan mengusahakan cara terbaik untuk memenuhi segala kewajibannya. Dan setiap laki-laki muslim, dengan memahami hal ini, haruslah bersikap mendukung dan bersimpati, serta mau memberikan perhatian dan bantuan jika diperlukan.
Sunnah Rasul tentang masalah ini disampaikan oleh istri beliau, Aisyah r.a. sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori menyatakan ketika Aisyah ditanya apa yang dilakukan Rasulullah di rumah, ia menjawab bahwa beliau membantu menyelesaikan tugas istri-istri beliau sampai tiba waktunya untuk pergi mengimami shalat di masjid. Sebagai laki-laki yang sempurna, beliau tidak menganggap membantu istri sebagai sesuatu yang menyinggung harga dirinya sebagai laki-laki.
Jika istri menggunakan semua waktunya untuk merawat rumah, maka suami harus menunjukkan penghargaannya terhadap pengorbanan ini dan memberikan waktu yang cukup bagi istri sebagai imbalan dari jerih payahnya. Ia harus memperhatikan apa yang telah dilakukan oleh istrinya dan memberikan perhatiannya. Suami muslim yang baik tidak akan meninggalkan rumah dan berkeliaran untuk kepentingan diri semata, atau sekedar mampir ke rumah teman-teman laki-lakinya menghabiskan waktu berjam-jam bersama mereka sementara istrinya ditinggalkan sendiri di rumah pada malam hari ketika ia mengharapkan suaminya mengahbiskan waktu bersamanya.
Suatu pandangan keliru yang umum dalam masyarakat bahwa hanya pekerjalah ‘yang bekerja’, dan orang-orang yang berada di rumah berarti tidak bekerja. Muslim yang sejati tidak boleh melupakan bahwa uang yang mereka bawa ke rumah sebagai nafkah untuk keluarganya diperoleh atas usaha bersama. Kalau para suami berpikir bahwa merekalah satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga, maka mereka harus segera berpikir dan mengingat apa jadinya kalau mereka kehilangan istri-istri mereka dari rumah. Mereka terpaksa menggaji seorang juru masak, petugas kebersihan rumah, perawat anak, pendidik anak, pencuci baju, pengatur rumah tangga, dan lain-lain. Biasanya seorang istri dapa menghemat hampir semua pengeluaran tersebut dengan menanganinya sendiri. Sungguh merupakan sumbangan yang sangat besar!!!
Jika laki-laki tidak siap atau tidak mampu mengerjakan bagian tugasnya, maka ada hal-hal yang harus dilakukannya jika istrinya bekerja di luar: ia harus menggaji pembantu rumah tangga, tukang cuci, tukang masak, dan perawat anak. Dengan pengaturan yang baik, hal itu dapat dilakukan. Istri muslim yang membiarkan rumahnya berantakan ketika ia sibuk bekerja di luar rumah, berarti berbuat kesalahan; namun tanggung jawab untuk melihat bahwa segala sesuatunya berjalan lancar ada pada suami dan istri.
Perbedaan merupakan rahmat. Ada laki-laki harus ada perempuan. Ada pemimpin, harus ada yang dipimpin. Ada hak dan kewajiban laki-laki ada juga hak dan kewajiban perempuan. Tidak perlu egois menjadi laki-laki dan tidak perlu sombong menjadi perempuan. Semuanya sama-sama makhluk Allah. Secara fisik biologis memang pasti berbeda, namun peran dan status sosialnya bisa saja sama. Yang perlu diingat adalah hak dan kewajiban yang diperoleh dan dilaksanakan baik oleh laki-laki maupun perempuan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT di akhirat kelak. Berbahagialah menjadi laki-laki mu’min dengan segala kelebihan dan kekurangannya dan bersyukurlah menjadi wanita mu’minah dengan segala kebikan dan keburukannya. Sehingga kekurangan dan keburukan yang ada dapat menjadi energi penambah semangat untuk terus memperbaiki diri. Mari kita dukung ibu-ibu kita, istri-istri kita, anak cucu perempuan kita, untuk menjadi Kartini-Kartini masa kini dengan tidak meninggalkan kodratnya sebagai wanita Islam sejati.
THE END

*) Penyuluh Agama Islam Kantor Kementrian Agama Kabupaten Cirebon, bertugas di Kecamatan Talun
Juga Dosen Luar Biasa di IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Sabtu, 15 Mei 2010

Busana Muslimah Seksi..???
Oleh:
Didin Fahrudin, S.Sos.I.*)

Sejarah busana lahir seiring dengan dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri. Oleh karenanya, busana sudah ada sejak manusia diciptakan. Kesimpulan ini dapat diambil dari firman Allah swt: “Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya..”[Q.S. Al-‘Arâf/7: 27]. Dengan demikian, jelaslah sejak manusia tercipta, pakaian itu sudah ada, sesuai dengan situasi dan kondisi waktu itu.
Busana memiliki fungsi yang begitu banyak, dari menutup anggota tertentu dari tubuh hingga penghias tubuh. Sebagaimana yang telah diterangkan pula oleh Allah dalam Al-Qur’an, yang mengisyaratkan akan fungsi busana; “Wahai anak Adam (manusia), sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi (aurat) tubuhmu dan untuk perhiasan…”. [Q.S. Al-‘Arâf: 26]
Nah, dari tata cara, bentuk dan mode berbusana, manusia dapat dinilai kepribadiannya. Dengan kata lain, cara berbusana merupakan cermin kepribadian seseorang.
Secara psikologis pakaian sangat berpengaruh terhadap pemakainya terutama dalam hal sikap atau tingkah laku maupun emosinya. Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan pengaruh psikologis dari pakaian adalah hal-hal yang dapat mempengaruhi sikap atau tingkah laku maupun emosi seseorang akibat dari pakaian yang dikenakannya. Sehingga orang yang berpakain sopan cenderung akan bersikap sopan, begitupun sebaliknya orang yang berpakaian urakan akan mendorong pemakainya untuk bersikap urakan pula.
Konsekwensi sebagai manusia agamis adalah berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan agamanya. Salah satu bentuk perintah agama Islam adalah perintah untuk mengenakan busana yang menutup seluruh aurat yang tidak layak untuk dinampakkan pada orang lain yang bukan muhrim. (QS Al-Nûr: 31 dan Al-Ahzâb: 59) Dari situlah akhirnya muncul apa yang disebut dengan istilah “Busana Muslimah”.
Busana muslimah adalah busana yang sesuai dengan ajaran Islam, dan idealnya, pengguna gaun tersebut mencerminkan seorang muslimah yang taat atas ajaran agamanya dalam tata cara berbusana. Busana muslimah bukan hanya sekedar simbol, melainkan dengan mengenakannya, berarti seorang perempuan telah memproklamirkan kepada makhluk Allah akan keyakinan, pandangannya terhadap dunia, dan jalan hidup yang ia tempuh, dimana semua itu didasarkan pada keyakinan mendalam terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa.
Namun akhir-akhir ini, model busana muslimah mengalami perkembangan yang luar biasa. Ketika jilbab dan kerudung beberapa waktu lalu telah menjadi ikon kesalehan seorang muslimah, kini rasa-rasanya tidak lagi demikian. Muncul fenomena baru, (walaupun tidak lagi bisa dikatakan terkini) istilah jilbab/kerudung gaul.
Jilbab/kerudung gaul adalah model yang mengawinkan dua gejala: keagamaan di satu sisi dan tren sosial global di sisi lain. Sebagai perempuan Islam, mereka ingin memakai busana Muslimah di satu sisi, tetapi ingin tampil seksi dan menarik di sisi lain. “Seksi” dan “menarik” ini adalah pengaruh kultur Barat, konteksnya adalah pameran diri (show-off, exhibitionism) untuk konsumsi publik laki-laki dan pasar ekonomi. Dalam Islam, sebagai makhluk yang dihargai, perempuan dilarang keras berpamer-pamer seperti itu. Yang ada justru perintah menjaga dan menutup diri agar terhormat (banyak hadits yang mengutuk perempuan yang memakai baju tipis, ketat atau membuka aurat di depan umum dan sebagainya). Tapi, karena perempuan-perempuan muda hidup di kota-kota besar dalam lingkungan kultur global yang sangat westernized, sementara pendidikan agamanya kurang, maka “seksi” dan “menarik” tetap menjadi pilihan banyak perempuan muda. Seksi dan menarik adalah ikon-ikon kecantikan sekuler yang selama ini membentuk cara berfikir para wanita muda dan remaja. Maka lihatlah, kita menyaksikan sebuah “spesies baru” generasi perempuan Islam yang “berbusana Muslimah” sangat khas: ketat mencetak badan, lekuk-lekuk tubuh ditonjolkan, perut dan pinggang dipamerkan, kadang-kadang (maaf!) celana dalam bagian belakang kelihatan sementara kepalanya terbungkus kerudung. Model “busana Muslimah” generasi ini persis seperti disinyalir dalam hadits Nabi: “berpakaian tetapi telanjang!”. Naudzubillah!
Fenomena inilah yang mungkin bagi beberapa pihak, dirasa memprihatinkan. Memang, walaupun ajaran agama tidak pernah mengurusi gaya dan model busana yang harus dikenakan penganutnya, namun setidaknya, dalam ajaran Islam, ada tuntunan, yang walaupun tidak terperinci, mengatur tata cara berbusana bagi seorang muslimah. Pertama; Bahan yang dipakai tidak boleh transparan, kedua; Model dan bentuknya harus menutup aurat, harus longgar, tidak ketat, tidak menyerupai pakaian-pakaian laki-laki dan wanita-wanita kafir, ketiga; Niatnya harus ikhlas, bukan untuk menyombongkan diri baik melalui model, perhiasan maupun parfum yang dipakai sehingga terlalu menarik perhatian orang banyak. Wallahu a’lam bishshowab…

*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kecamatan Astanajapura

PESAN MORAL SUNAN GUNUNG JATI

Oleh: Harbayanti Abdi, S.Sos.I *)

Syekh Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati adalah tokoh Cirebon yang dikenal sebagai anggota Wali Sanga penyebar agama Islam di Jawa Barat. Wasiatnya yang tersirat dalam pesan moralnya, sangat melekat di hati masyarakat Cirebon, terutama berkaitan dengan amanat “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin”. Amanat inilah yang harus dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Kabupaten Cirebon beserta aparat pemerintahnya, dengan program-program pembangunan sarana ibadah, seperti masjid, musholla, tajug dan pondok-pondok pesantren.

Makna tajug di sini merupakan penerapan hablumminaallah (hubungan baik antara manusia dengan penciptanya) agar terpelihara di hati setiap warga muslim di Kabupaten Cirebon khususnya. Salah satu caranya adalah dengan memakmurkan, meramaikan dan menjaga kebersihan masjid. Kalau bukan kita umat Islam yang menjaga dan memakmurkan masjid, lalu siapa lagi? Masjid adalah lambang peradaban Islam di masa awal Rasulullah SAW. hijrah dari Mekkah ke Madinah. Bangunan pertama yang didirikan Rasulullah di Madinah, adalah masjid. Masjid sebagai tempat sujud (sholat), tempat bermusyawarah urusan agama dan urusan pemerintahan, tempat belajar dan pendidikan, bahkan tempat untuk mengatur siasat perang. Seandainya semua umat Islam menjadikan seluruh hamparan bumi ini sebagai masjid, dalam arti semua kegiatan yang dilakukan semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah SWT., insyaAllah dunia ini akan damai dan tentram. Bekerja di mana saja niatkan untuk ibadah kepada Allah, apa saja yang kita kerjakan tidak menyimpang dari aturaan Allah. Menuntut ilmu dimana saja niatkan untuk ibadah, agar ilmu yang kita peroleh bermanfaat dunia akhirat dan tidak menjadi laknat. Memimpin keluarga, memimpin masyarakat, niatkan untuk ibadah kepada Allah agar kita bisa menjadi pemimpin yang dicintai rakyat karena Allah.

Seperti juga Rasulullah SAW. yang seorang pemimpin agama dan juga pemimpin pemerintahan, Sunan Gunung Jati pun demikian. Ia penyebar agama Islam di Jawa Barat yang akhirnya menjadi pemimpin daerah Cirebon setelah Pangeran Cakrabuana, uwa dan ayah mertuanya wafat. Beliau adalah tokoh babad Cerbon, sebagai pendiri Cirebon yang sekarang menjadi Kota dan Kabupaten. Tanggal 2 April, setelah resmi menjadi Sultan, Syekh Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati, memproklamirkan kesultanan Cirebon menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa Barat, melepaskan diri dari kekuasaan kakeknya Sang Prabu Siliwangi yang masih beragama Hindu. Kabupaten Cirebon tampil dengan wajah yang Islami, karena berangkat dari proklamasi kerajaan Islam. Inilah mungkin yang menandai penyebaran Islam di Jawa Barat, dengan peninggalan sejarah berupa pondok pesantren yang banyak bertebaran di kabupaten Cirebon.

Amanat Sunan Gunung Jati berkaitan dengan fakir miskin merupakan penerapan hablumminannaas, yaitu berhubungan baik antar sesama manusia. Hal ini harus diwujudkan sedikit demi sedikit secara bertahap namun pasti, dengan cara memperhatikan nasib rumah penduduk miskin, perbaikan lingkungan pemukiman kumuh, pemberian bea siswa pendidikan bagi pelajar dan mahasiswa yang tergolong anak yatim dan miskin serta santunan buat lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam Madrasah Diniyah dan Ibtidaiyah. Silaturrahmi antara pemerintah dan warga miskin, juga silaturahim antara warga yang lebih berkecukupan dengan warga fakir miskin harus sering dilakukan.

Kepada anak-anak yatim mari kita bangkitkan semangat belajar, demi menatap masa depan. Pemerintah kabupaten Cirebon mulai dari aparat desa sampai aparat pemerintah kabupaten, berkewajiban dan bertanggung jawab mengantarkan mereka sebagai generasi pemimpin di masa yang akan datang. Karena dalam undang-undang dasar 1945 dicantumkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Dan kata nabi, kemiskinan itu mendekatkan pada kekufuran. Berantas kemiskinan sejak dari akarnya agar tidak terjadi kekufuran. Yaitu dengan mendidik anak-anak kita agar tidak buta baca tulis latin apalagi buta baca tulis al Qur’an. Didik akalnya dan didik hatinya agar tidak salah jalan. Miskin dan kaya hanyalah status di masyarakat. Jika orang kaya murah hati dengan kekayaannya sehingga mau membantu pemerintah dalam memberikan santunan bea siswa bagi anak-anak usia sekolah di Kabupaten Cirebon, maka orang miskin bersabarlah dengan kemiskinannya namun tetap harus berusaha untuk terus bangkit memperbaiki hidupnya menjadi keluarga yang terdidik untuk bekal dunia akhirat. Karena Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya.

Kita sebagai bagian dari masyarakat kabupaten Cirebon diupayakan agar menjadi masyarakat religius, yang taat dan nyantri. Meskipun mungkin masih banyak juga yang berperilaku menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu harus ada kerjasama antara pemerintah kabupaten Cirebon dengan para ulama, para cendekiawan muslim serta seluruh elemen masyarakat beragama, untuk melanjutkan upaya pembangunan moral ke arah yang lebih baik dan lebih optimal sebagaimana pesan dari leluhur masyarakat Cirebon yaitu Sunan Gunung Jati. Beliau titip tajug dan fakir miskin. Asal usul kabupaten Cirebon terlahir dari pemimpin yang agamis dan juga pemimpin yang demokratis. Mari kita jadikan semua tempat kita beraktivitas sebagai masjid, tajug, untuk bersujud, beribadah, bertatap hati dengan Allah yang Maha Pencipta dan tiada duanya agar kita selalu mengingat Allah dimanapun kita berada. Mari kita sebar senyum dan ulurkan tangan untuk membantu saudara-saudara muslim yang sedang membutuhkan uluran tangan kita. Satukanlah genggaman tangan kita untuk membantu saudara-saudara kita yang kurang berkecukupan. Dengan bersatu, bekerja sama, pekerjaan akan lebih mudah dan lebih ringan. Dengan demikian mudah-mudahan kita menjadi warga kabupaten Cirebon, yang memegang amanah Sunan gunung Jati. Selamat hari jadi kabupaten Cirebon yang ke-528.

*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kecamatan Talun